Friday, September 23, 2005

BAB I pasal 3

ALKISAH, di sebuah jaman dan di suatu tempat, hiduplah seekor naga dan seekor ular yang memiliki cara pandang yang berbeda. Tetapi walaupun begitu mereka adalah sepasang sahabat. Pekerjaan keduanya adalah membangun benteng untuk sebuah kerajaan yang menginginkan pertahanan. Kadang-kadang keduanya sering berbeda pendapat tetapi pada akhirnya rujuk kembali. Pernah suatu kali ketika mereka mengitari bumi dan menemukan tempat yang indah di bawah lereng, si ular yang menyukai kesederhanaan cara pandang berkata "Wah, gunung ini indah, banyak hutan yang membuatnya berwarna hijau, akan kubuat beberapa lorong di bawahnya agar air tidak mengikis permukaannya, sehingga hijaunya bertahan sampai lama." Dan sang naga yang memiliki ketajaman pemikiran sampai menembus inti bumi pun berkata, "Di dalam gunung itu menunggu lahar yang siap membunuh semua yang datang padanya karena tertarik dengan pemandangannya, mungkin harus kubangun bendungan yang megah dan kokoh untuk menahan lahar sehingga gunung tersebut tetap indah adanya." Demikianlah kesaktian keduanya, si ular menyukai keindahan sebuah keindahan susunan di belakang sebuah bentuk, tetapi si naga lebih suka memperindah bentuk sekaligus membangun susunan pertahanan dibaliknya, walaupun tak sekuat susunan pertahanan si ular, dan bila keduanya digabungkan, maka tak ada kekuatan yang merangkak di atas bumi ini yang mampu menandingi.

Suatu hari sang ular bertandang ke tempat persemayaman sang naga, yang pada waktu itu ternyata sang naga sedang menuliskan kitab dengan menggunakan lidah apinya yang terpancar dari hatinya. Oh ya aku lupa mengatakan bahwa keduanya suka sekali menulis kitab tentang hidup, sang hyang widi, dan alam semesta. "Wahai naga sahabatku, sedang apakah engkau?" Sang naga pun berbalik tersenyum sejenak dan meneruskan memuntahkan jilatan api untuk membentuk huruf-huruf di atas sebuah lempeng batu, "Seperti biasa kisanak, aku sedang menuliskan gelora hatiku, apa kabarmu?" Sang ular pun mengambil tempat di sebuah lereng gunung untuk melingkarkan badannya sambil melihat tulisan-tulisan sang naga yang sedang asik di menari-nari di dataran gunung sebelah timurnya. "Ah kudengar kau sedang membangun sebuah benteng, kisanak? Bagaimana perkembangannya?" tanya sang ular kepada sang naga. Sang naga pun berhenti sejenak dan termenung sambil bergumam, "Ah, dasar jendral bodoh! Dengan upeti yang diberikannya kepadaku, aku sanggup membuat sebuah benteng yang cukup besar dari emas permata, yang di dalamnya bisa kusiapkan semua bandil dan panah api, dan tak dapat diruntuhkan, walaupun benteng itu mungkin tidak terlalu besar. Tapi aku jamin kuat! Ah mereka malah meminta sebuah benteng yang nampak megah dari papan kayu, mereka hanya ingin tampak megah dan berharap musuh akan gentar dengan pemandangan seperti itu, sehingga bisa menikmati sisa emas yang diperuntukkan untuk membangun benteng. Sebuah taruhan terlalu mahal bagiku, hanya untuk mengenyangkan perut mereka!" Dengan sedikit luapan amarah sang naga menjelaskan panjang lebar apa yang terjadi. "Hm," gumam sang ular, "ternyata tak hanya diriku yang menemui beberapa orang yang merasa nyaman dengan kepalsuan, kisanak." Sang naga pun menoleh, "Jadi kisanak pun menemukan orang-orang bodoh seperti itu? Di mana?" sang naga agak sedikit penasaran. "Ya benar, ada banyak, masih satu negeri dengan kerajaan yang kau cemooh itu kisanak, di kerjanaan sebelah utara sana. Berharap aku membangun sebuah gorong-gorong dan pertahanan yang murah, dan berharap musuh gentar dengan pertahanan kosong itu, yang sebenarnya hanya dengan satu ketapel sebesar gunung kecil ini mampu merobohkan semuanya dalam sekejap. Yang membuatku sedih, bahkan mereka sebenarnya cukup mampu untuk membuat benteng 4 kali lebih kuat dari buatan kita, dengan semua hasil bumi kerajaan tersebut." Sang naga pun melingkarkan ekornya ke lereng gunung dan tidak mengacuhkan kitab nya, untuk menanggapi sang ular, sambil tertawa lirih berkata, "Hehe, jadi benar ya, negeri ini hanya suka seusuatu yang nampak megah, dan berharap bahwa musuh akan gentar dengan melihat benteng yang hanya terbuat dari papan kayu itu, sementara mereka menghibur diri dengan upacara-upacara mengenyangkan perut dan minum tuak?" "Yah begitulah.." jawab pendek sang ular. "Kisanak..", sang naga memanggil sang ular. "Ya ada apa?" "Sudah lama kita tidak bermain bukan? Bagaimana kita bermain sejenak?" sambung sang naga agak bersemangat. "Ah baiklah, mungkin itu usul yang cukup bagus untuk melampiaskan kemarahan kita." sambut sang ular penuh semangat. "Marilah kisanak!" Dan sang naga pun sudah mengambil posisi menyerang di atas samudra, sedangkan sang ular sudah mengangkasa mempersiapkan taring-taringnya di atas sebuah lembah yang besar, dan kilat serta gemuruh badai pun melanda sekitarnya. Mereka melatih kesaktian mereka untuk kesekian kalinya, untuk melindungi sang bumi pertiwi dari serangan musuh yang lebih besar, yaitu diri mereka sendiri pada saat dilanda keangkaramurkaan, keserakahan, ketamakan, dan kelicikan. Dan benteng-benteng yang terbuat dari papan tipis itu pun luluh lantak terkena libasan ekor sang ular, dan gorong-gorong tanah liat itu pun longsor terkena jilatan api sang naga.... namun tak ada satu nyawa pun tercabut. Ya.. mereka hanya ingin menunjukkan betapa bodohnya orang-orang itu.

-godril-

No comments: